Bagaimanakah
panduan shalat Idul Fithri dan Idul Adha?
Berikut
adalah panduan ringkas dalam shalat ‘ied, baik shalat ‘Idul Fithri atau pun
‘Idul Adha. Yang kami sarikan dari beberapa penjelasan ulama. Semoga
bermanfaat.
Hukum
Shalat ‘Ied
Menurut
pendapat yang lebih kuat, hukum shalat ‘ied adalah wajib bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun
perempuan yang dalam keadaan mukim[1]. Dalil
dari hal ini adalah hadits dari Ummu ‘Athiyah, beliau berkata,
أَمَرَنَا – تَعْنِى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم-
– أَنْ نُخْرِجَ فِى الْعِيدَيْنِ الْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ وَأَمَرَ
الْحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami pada
saat shalat ‘ied (Idul Fithri ataupun Idul Adha) agar mengeluarkan para gadis
(yang baru beanjak dewasa) dan wanita yang dipingit, begitu pula wanita yang
sedang haidh. Namun beliau memerintahkan pada wanita yang sedang haidh untuk
menjauhi tempat shalat.”[2]
Di antara
alasan wajibnya shalat ‘ied dikemukakan oleh Shidiq Hasan Khon (murid Asy Syaukani).[3]
Pertama: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus
menerus melakukannya.
Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah
kaum muslimin untuk keluar rumah untuk menunaikan shalat ‘ied. Perintah untuk
keluar rumah menunjukkan perintah untuk melaksanakan shalat ‘ied itu sendiri
bagi orang yang tidak punya udzur. Di sini dikatakan wajib karena keluar rumah
merupakan wasilah (jalan) menuju shalat. Jika wasilahnya saja diwajibkan, maka
tujuannya (yaitu shalat) otomatis juga wajib.
Ketiga: Ada perintah dalam Al Qur’an yang menunjukkan wajibnya shalat ‘ied
yaitu firman Allah Ta’ala,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an nahr).” (QS. Al
Kautsar: 2). Maksud ayat ini adalah perintah untuk melaksanakan shalat ‘ied.
Keempat: Shalat jum’at menjadi gugur bagi orang yang telah melaksanakan shalat
‘ied jika kedua shalat tersebut bertemu pada hari ‘ied. Padahal sesuatu yang
wajib hanya boleh digugurkan dengan yang wajib pula. Jika shalat jum’at itu
wajib, demikian halnya dengan shalat ‘ied. –Demikian penjelasan Shidiq Hasan
Khon yang kami sarikan-.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
“Pendapat yang menyatakan bahwa hukum shalat ‘ied adalah wajib bagi setiap
muslim lebih kuat daripada yang menyatakan bahwa hukumnya adalah fardhu kifayah
(wajib bagi sebagian orang saja). Adapun pendapat yang mengatakan bahwa hukum
shalat ‘ied adalah sunnah (dianjurkan, bukan wajib), ini adalah pendapat yang lemah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri
memerintahkan untuk melakukan shalat ini. Lalu beliau sendiri dan para
khulafaur rosyidin (Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, -pen), begitu pula kaum
muslimin setelah mereka terus menerus melakukan shalat ‘ied. Dan tidak dikenal
sama sekali kalau ada di satu negeri Islam ada yang meninggalkan shalat ‘ied.
Shalat ‘ied adalah salah satu syi’ar Islam yang terbesar. … Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberi
keringanan bagi wanita untuk meninggalkan shalat ‘ied, lantas bagaimana lagi
dengan kaum pria?”[4]
Waktu
Pelaksanaan Shalat ‘Ied
Menurut
mayoritas ulama –ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hambali-, waktu shalat ‘ied
dimulai dari matahari setinggi tombak[5] sampai
waktu zawal (matahari bergeser ke barat).[6]
Ibnul Qayyim
mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengakhirkan
shalat ‘Idul Fitri dan mempercepat pelaksanaan shalat ‘Idul Adha. Ibnu
‘Umar yang sangat dikenal mencontoh ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah keluar
menuju lapangan kecuali hingga matahari meninggi.”[7]
Tujuan
mengapa shalat ‘Idul Adha dikerjakan lebih awal adalah agar orang-orang dapat
segera menyembelih qurbannya. Sedangkan shalat ‘Idul Fitri agak diundur
bertujuan agar kaum muslimin masih punya kesempatan untuk menunaikan zakat
fithri.[8]
Tempat
Pelaksanaan Shalat ‘Ied
Tempat
pelaksanaan shalat ‘ied lebih utama (lebih afdhol) dilakukan di tanah lapang,
kecuali jika ada udzur seperti hujan. Abu Sa’id Al Khudri mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم –
يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى
“Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar pada hari
raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha menuju tanah lapang.”[9]
An Nawawi
mengatakan, “Hadits Abu Sa’id Al Khudri di atas adalah dalil bagi orang yang
menganjurkan bahwa shalat ‘ied sebaiknya dilakukan di tanah lapang dan ini
lebih afdhol (lebih utama) daripada melakukannya di masjid. Inilah yang
dipraktekkan oleh kaum muslimin di berbagai negeri. Adapun penduduk Makkah,
maka sejak masa silam shalat ‘ied mereka selalu dilakukan di Masjidil Haram.”[10]
Tuntunan
Ketika Hendak Keluar Melaksanakan Shalat ‘Ied
Pertama: Dianjurkan untuk mandi sebelum berangkat shalat. Ibnul Qayyim
mengatakan, “Terdapat riwayat yang shahih yang menceritakan bahwa Ibnu ‘Umar
yang dikenal sangat mencontoh ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
mandi pada hari ‘ied sebelum berangkat shalat.”[11]
Kedua: Berhias diri dan memakai pakaian yang terbaik. Ibnul Qayyim
mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
keluar ketika shalat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha dengan pakaiannya yang
terbaik.”[12]
Ketiga: Makan sebelum keluar menuju shalat ‘ied khusus untuk shalat ‘Idul
Fithri.
Dari
‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ
يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ وَلاَ يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى
يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat
shalat ‘ied pada hari Idul Fithri dan beliau makan terlebih dahulu. Sedangkan
pada hari Idul Adha, beliau tidak makan lebih dulu kecuali setelah pulang dari
shalat ‘ied baru beliau menyantap hasil qurbannya.”[13]
Hikmah
dianjurkan makan sebelum berangkat shalat Idul Fithri adalah agar tidak
disangka bahwa hari tersebut masih hari berpuasa. Sedangkan untuk shalat Idul
Adha dianjurkan untuk tidak makan terlebih dahulu adalah agar daging qurban
bisa segera disembelih dan dinikmati setelah shalat ‘ied.[14]
Keempat: Bertakbir ketika keluar hendak shalat ‘ied. Dalam suatu riwayat
disebutkan,
كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ
يَوْمَ الفِطْرِ فَيُكَبِّر حَتَّى يَأْتِيَ المُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ
الصَّلاَةَ فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ ؛ قَطَعَ التَّكْبِيْر
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar hendak
shalat pada hari raya ‘Idul Fithri, lantas beliau bertakbir sampai di lapangan
dan sampai shalat hendak dilaksanakan. Ketika shalat hendak dilaksanakan,
beliau berhenti dari bertakbir.”[15]
Dari Ibnu
‘Umar, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
berangkat shalat ‘ied (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Al Fadhl bin ‘Abbas,
‘Abdullah bin’Abbas, ‘Ali, Ja’far, Al Hasan, Al Husain, Usamah bin Zaid, Zaid
bin Haritsah, dan Ayman bin Ummi Ayman, mereka mengangkat suara membaca tahlil
(laa ilaha illallah) dan takbir (Allahu Akbar).”[16]
Tata
cara takbir ketika berangkat shalat ‘ied ke lapangan:
[1]
Disyari’atkan dilakukan oleh setiap orang dengan menjahrkan (mengeraskan)
bacaan takbir. Ini berdasarkan kesepakatan empat ulama madzhab.[17]
[2] Di
antara lafazh takbir adalah,
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا
اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
“Allahu
akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illallah wallahu akbar, Allahu akbar wa
lillahil hamd (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang
berhak disembah dengan benar selain Allah, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar,
segala pujian hanya untuk-Nya)” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa
lafazh ini dinukil dari banyak sahabat, bahkan ada riwayat yang menyatakan
bahwa lafazh ini marfu’ yaitu sampai pada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.[18]
Syaikhul
Islam juga menerangkan bahwa jika seseorang mengucapkan “Allahu Akbar, Allahu akbar, Allahu akbar”, itu juga
diperbolehkan.[19]
Kelima: Menyuruh wanita dan anak kecil untuk berangkat shalat ‘ied. Dalilnya
sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu ‘Athiyah yang pernah kami sebutkan.
Namun wanita tetap harus memperhatikan adab-adab ketika keluar rumah, yaitu
tidak berhias diri dan tidak memakai harum-haruman.
Sedangkan
dalil mengenai anak kecil, Ibnu ‘Abbas –yang ketika itu masih kecil- pernah
ditanya, “Apakah engkau pernah menghadiri shalat ‘ied bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Ia menjawab,
نَعَمْ ، وَلَوْلاَ مَكَانِى مِنَ الصِّغَرِ مَا
شَهِدْتُهُ
“Iya, aku menghadirinya. Seandainya bukan karena kedudukanku yang
termasuk sahabat-sahabat junior, tentu aku tidak akan menghadirinya.”[20]
Keenam: Melewati jalan pergi dan pulang yang berbeda. Dari Jabir, beliau
mengatakan,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا كَانَ
يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat ‘ied, beliau
lewat jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang.”[21]
Ketujuh: Dianjurkan berjalan kaki sampai ke tempat shalat dan tidak memakai
kendaraan kecuali jika ada hajat. Dari Ibnu ‘Umar, beliau mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَخْرُجُ
إِلَى الْعِيدِ مَاشِيًا وَيَرْجِعُ مَاشِيًا.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat
‘ied dengan berjalan kaki, begitu pula ketika pulang dengan berjalan kaki.”[22]
Tidak
Ada Shalat Sunnah Qobliyah ‘Ied dan Ba’diyah ‘Ied
Dari Ibnu
‘Abbas, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ
يَوْمَ أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ
بَعْدَهَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pada hari
Idul Adha atau Idul Fithri, lalu beliau mengerjakan shalat ‘ied dua raka’at,
namun beliau tidak mengerjakan shalat qobliyah maupun ba’diyah ‘ied.”[23]
Tidak
Ada Adzan dan Iqomah Ketika Shalat ‘Ied
Dari Jabir
bin Samuroh, ia berkata,
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ.
“Aku pernah
melaksanakan shalat ‘ied (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya sekali
atau dua kali, ketika itu tidak ada adzan maupun iqomah.”[24]
Ibnul Qayyim
mengatakan, “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai
ke tempat shalat, beliau pun mengerjakan shalat ‘ied tanpa ada adzan dan
iqomah. Juga ketika itu untuk menyeru jama’ah tidak ada ucapan “Ash Sholaatul Jaam’iah.” Yang termasuk ajaran Nabi
adalah tidak melakukan hal-hal semacam tadi.”[25]
Tata
Cara Shalat ‘Ied
Jumlah
raka’at shalat Idul Fithri dan Idul Adha adalah dua raka’at. Adapun tata
caranya adalah sebagai berikut.[26]
Pertama: Memulai dengan takbiratul ihrom, sebagaimana shalat-shalat lainnya.
Kedua: Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak tujuh kali
takbir -selain takbiratul ihrom- sebelum memulai membaca Al Fatihah. Boleh
mengangkat tangan ketika takbir-takbir tersebut sebagaimana yang dicontohkan
oleh Ibnu ‘Umar. Ibnul Qayyim mengatakan, “Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat
meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
mengangkat tangannya dalam setiap takbir.”[27]
Ketiga: Di antara takbir-takbir (takbir zawa-id) yang ada tadi tidak ada
bacaan dzikir tertentu. Namun ada sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud, ia
mengatakan, “Di antara tiap takbir, hendaklah menyanjung dan memuji Allah.”[28] Syaikhul
Islam mengatakan bahwa sebagian salaf di antara tiap takbir membaca bacaan,
سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إلَهَ إلَّا
اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ . اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي
“Subhanallah wal hamdulillah wa laa ilaha illallah wallahu
akbar. Allahummaghfirlii war hamnii (Maha suci Allah, segala
pujian bagi-Nya, tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah selain Allah.
Ya Allah, ampunilah aku dan rahmatilah aku).” Namun ingat sekali lagi,
bacaannya tidak dibatasi dengan bacaan ini saja. Boleh juga membaca bacaan
lainnya asalkan di dalamnya berisi pujian pada Allah Ta’ala.
Keempat: Kemudian membaca Al Fatihah, dilanjutkan dengan membaca surat lainnya.
Surat yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
surat Qaaf pada raka’at pertama dan surat Al Qomar pada raka’at kedua. Ada
riwayat bahwa ‘Umar bin Al Khattab pernah menanyakan pada Waqid Al Laitsiy
mengenai surat apa yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika shalat ‘Idul Adha dan ‘Idul Fithri. Ia
pun menjawab,
كَانَ يَقْرَأُ فِيهِمَا بِ (ق وَالْقُرْآنِ
الْمَجِيدِ) وَ (اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ)
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca “Qaaf, wal qur’anil majiid” (surat Qaaf) dan “Iqtarobatis saa’atu wan syaqqol qomar” (surat Al
Qomar).”[29]
Boleh juga
membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at
kedua. Dan jika hari ‘ied jatuh pada hari Jum’at, dianjurkan pula membaca surat
Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at kedua, pada
shalat ‘ied maupun shalat Jum’at. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ
فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ
(هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ
وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam
shalat ‘ied maupun shalat Jum’at “Sabbihisma robbikal a’la” (surat
Al A’laa)dan “Hal ataka haditsul ghosiyah” (surat Al
Ghosiyah).” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied
bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di
masing-masing shalat.[30]
Kelima: Setelah membaca surat, kemudian melakukan gerakan shalat seperti biasa
(ruku, i’tidal, sujud, dst).
Keenam: Bertakbir ketika bangkit untuk mengerjakan raka’at kedua.
Ketujuh: Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak lima kali takbir
-selain takbir bangkit dari sujud- sebelum memulai membaca Al Fatihah.
Kedelapan: Kemudian membaca surat Al Fatihah dan surat lainnya sebagaimana yang
telah disebutkan di atas.
Kesembilan: Mengerjakan gerakan lainnya hingga salam.
Khutbah
Setelah Shalat ‘Ied
Dari Ibnu
‘Umar, ia mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم –
وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ – رضى الله عنهما – يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ
الْخُطْبَةِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr, begitu
pula ‘Umar biasa melaksanakan shalat ‘ied sebelum khutbah.”[31]
Setelah
melaksanakan shalat ‘ied, imam berdiri untuk melaksanakan khutbah ‘ied dengan
sekali khutbah (bukan dua kali seperti khutbah Jum’at).[32] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan khutbah
di atas tanah dan tanpa memakai mimbar.[33] Beliau
pun memulai khutbah dengan “hamdalah” (ucapan
alhamdulillah) sebagaimana khutbah-khutbah beliau yang lainnya.
Ibnul Qayyim
mengatakan, “Dan tidak diketahui dalam satu hadits pun yang menyebutkan bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammembuka khutbah ‘iednya
dengan bacaan takbir. … Namun beliau memang sering mengucapkan takbir di
tengah-tengah khutbah. Akan tetapi, hal ini tidak menunjukkan bahwa beliau
selalu memulai khutbah ‘iednya dengan bacaan takbir.”[34]
Jama’ah
boleh memilih mengikuti khutbah ‘ied ataukah tidak. Dari ‘Abdullah bin As
Sa-ib, ia berkata bahwa ia pernah menghadiri shalat ‘ied bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala beliau selesai
menunaikan shalat, beliau bersabda,
إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ
لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ
“Aku saat ini akan
berkhutbah. Siapa yang mau tetap duduk untuk mendengarkan khutbah, silakan ia
duduk. Siapa yang ingin pergi, silakan ia pergi.”[35]
Ucapan
Selamat Hari Raya
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Adapun tentang ucapan selamat (tah-niah) ketika hari ‘ied seperti sebagian orang
mengatakan pada yang lainnya ketika berjumpa setelah shalat ‘ied, “Taqobbalallahu minna wa minkum wa ahaalallahu ‘alaika”
dan semacamnya, maka seperti ini telah diriwayatkan oleh beberapa sahabat Nabi.
Mereka biasa mengucapkan semacam itu dan para imam juga memberikan keringanan
dalam melakukan hal ini sebagaimana Imam Ahmad dan lainnya. Akan tetapi, Imam
Ahmad mengatakan, “Aku tidak mau mendahului mengucapkan selamat
hari raya pada seorang pun. Namun kalau ada yang mengucapkan selamat padaku,
aku akan membalasnya”. Imam Ahmad melakukan semacam ini karena
menjawab ucapan selamat adalah wajib, sedangkan memulai mengucapkannya bukanlah
sesuatu yang dianjurkan. Dan sebenarnya bukan hanya beliau yang tidak suka
melakukan semacam ini. Intinya, barangsiapa yang ingin mengucapkan
selamat, maka ia memiliki qudwah (contoh).
Dan barangsiapa yang meninggalkannya, ia pun memiliki qudwah (contoh).”
Bila
Hari ‘Ied Jatuh pada Hari Jum’at
Bila hari
‘ied jatuh pada hari Jum’at, maka bagi orang yang telah melaksanakan shalat
‘ied, ia punya pilihan untuk menghadiri shalat Jum’at atau tidak. Namun imam
masjid dianjurkan untuk tetap melaksanakan shalat Jum’at agar orang-orang yang
punya keinginan menunaikan shalat Jum’at bisa hadir, begitu pula orang yang
tidak shalat ‘ied bisa turut hadir. Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama
Hambali. Dan pendapat ini terdapat riwayat dari ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu
‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Az Zubair. Dalil dari hal ini adalah:
Pertama: Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, “Aku
pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom,
أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ
صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ
يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».
“Apakah
engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu
dengan dua ‘ied (hari Idul Fithri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jum’at)
dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa
yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat ‘ied dan memberi
keringanan untuk meninggalkan shalat Jum’at”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa
yang mau shalat Jum’at, maka silakan melaksanakannya.”[36]
Kedua: Dari ‘Atho’, ia berkata, “Ibnu Az Zubair ketika hari ‘ied yang jatuh
pada hari Jum’at pernah shalat ‘ied bersama kami di awal siang. Kemudian ketika
tiba waktu shalat Jum’at Ibnu Az Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat
sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thoif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba,
kami pun menceritakan kelakuan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun
mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan sunnah (ajaran Nabi) [ashobas sunnah].”[37] Jika
sahabat mengatakan ashobas sunnah(menjalankan
sunnah), itu berarti statusnya marfu’ yaitu menjadi perkataan Nabi.[38]
Diceritakan
pula bahwa ‘Umar bin Al Khottob melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu
Az Zubair. Begitu pula Ibnu ‘Umar tidak menyalahkan perbuatan Ibnu Az Zubair.
Begitu pula ‘Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan bahwa siapa yang telah
menunaikan shalat ‘ied maka ia boleh tidak menunaikan shalat Jum’at. Dan tidak
diketahui ada pendapat sahabat lain yang menyelisihi pendapat mereka-mereka
ini.[39]
Catatan:
Dianjurkan
bagi imam masjid agar tetap mendirikan shalat Jum’at supaya orang yang ingin
menghadiri shalat Jum’at atau yang tidak shalat ‘ied bisa menghadirinya. Dalil
dari hal ini adalah dari An Nu’man bin Basyir, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam
shalat ‘ied dan shalat Jum’at “sabbihisma robbikal a’la” dan “hal ataka haditsul ghosiyah”.” An Nu’man bin
Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at,
beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.[40] Karena
imam dianjurkan membaca dua surat tersebut pada shalat Jum’at yang bertepatan
dengan hari ‘ied, ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at dianjurkan untuk
dilaksanakan oleh imam masjid.
Siapa saja
yang tidak menghadiri shalat Jum’at dan telah menghadiri shalat ‘ied –baik pria
maupun wanita- maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat Zhuhur (4 raka’at)
sebagai ganti karena tidak menghadiri shalat Jum’at.[41]
Demikian
beberapa penjelasan ringkas mengenai panduan shalat Idul Fithri dan Idul Adha.
Semoga bermanfaat.
Segala puji
bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Penulis:
Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id, dipublish ulang oleh https://rumaysho.com
[1] Lihat Bughyatul Mutathowwi’ fii Sholatit Tathowwu’, Muhammad
bin ‘Umar bin Salim Bazmoul, hal. 109-110, Dar Al Imam Ahmad, cetakan pertama,
tahun 1427 H.
[2] HR.
Muslim no. 890, dari Muhammad, dari Ummu ‘Athiyah.
[3] Kami
sarikan dari Ar Roudhotun Nadiyah Syarh Ad Durorul Bahiyyah,
1/202, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, 1422 H.
[4] Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 24/183,
Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.
[5] Yang
dimaksud, kira-kira 2o menit setelah matahari terbit sebagaimana keterangan
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin dalam Syarh Hadits Al Arba’in An
Nawawiyah yang pernah kami peroleh ketika beliau membahas
hadits no. 26.
[6] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/599 dan Ar Roudhotun Nadiyah, 1/206-207.
[7] Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, Ibnu Qayyim Al
Jauziyah, 1/425, Muassasah Ar Risalah, cetakan ke-14, tahun 1407 H [Tahqiq:
Syu’aib Al Arnauth dan ‘Abdul Qadir Al Arnauth]
[8] Lihat Minhajul Muslim, Abu Bakr Jabir Al Jaza-iri, hal.
201, Darus Salam, cetakan keempat.
[9] HR.
Bukhari no. 956 dan Muslim no. 889.
[10] Syarh Muslim, An Nawawi, 3/280, Mawqi’ Al Islam.
[11] Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, 1/425.
[12] Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, 1/425.
[13] HR.
Ahmad 5/352.Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[14] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/602.
[15] Dikeluarkan
dalam As Silsilahh Ash Shahihah no. 171. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
riwayat ini shahih.
[16] Dikeluarkan
oleh Al Baihaqi (3/279). Hadits ini hasan. Lihat Al Irwa’ (3/123)
[17] Lihat Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 24/220,
Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.
[18] Idem
[19] Idem
[20] HR.
Bukhari no. 977.
[21] HR.
Bukhari no. 986.
[22] HR.
Ibnu Majah no. 1295. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[23] HR.
Bukhari no. 964 dan Muslim no. 884.
[24] HR.
Muslim no. 887.
[25] Zaadul Ma’ad, 1/425.
[26] Kami
sarikan dari Shahih Fiqh Sunnah, 1/607.
[27] Idem
[28] Dikeluarkan
oleh Al Baihaqi (3/291). Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid mengatakan bahwa
sanad hadits ini qowiy (kuat). Lihat Ahkamul ‘Idain, Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul
Hamid, hal. 21, Al Maktabah Al Islamiy, cetakan pertama, tahun 1405 H.
[29] HR.
Muslim no. 891
[30] HR.
Muslim no. 878.
[31] HR.
Bukhari no. 963 dan Muslim no. 888.
[32] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/607.
[33] Lihat
keterangan dari Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad, 1/425.
Yang pertama kali mengeluarkan mimbar dari masjid ketika shalat ‘ied adalah
Marwan bin Al Hakam.
[34] Idem
[35] HR.
Abu Daud no. 1155 dan Ibnu Majah no. 1290. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih.
[36] HR.
Abu Daud no. 1070, Ibnu Majah no. 1310. Asy Syaukani dalam As Sailul Jaror (1/304) mengatakan bahwa
hadits ini memiliki syahid (riwayat penguat). An Nawawi dalam Al Majmu’ (4/492) mengatakan bahwa sanad hadits
ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). ‘Abdul Haq Asy Syubaili dalam Al Ahkam Ash Shugro (321) mengatakan bahwa sanad
hadits ini shahih. ‘Ali Al Madini dalam Al Istidzkar (2/373)
mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). Syaikh
Al Albani dalam Al Ajwibah An Nafi’ah (49)
mengatakan bahwa hadits ini shahih. Intinya, hadits ini bisa digunakan
sebagai hujjah atau dalil.
[37] HR.
Abu Daud no. 1071. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[38] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/596.
[39] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/596, Al
Maktabah At Taufiqiyah.
[40] HR.
Muslim no. 878.
[41] Lihat Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’,
8/182-183, pertanyaan kelima dari Fatwa no. 2358, Mawqi’ Al Ifta.