Hadits Dho’if, Bolehkah Dijadikan Sandaran Hukum?
Kaum
muslimin yang semoga dirahmati Allah. Saat ini telah tersebar berbagai macam
perkara baru dalam agama ini (baca: bid’ah). Seperti
contohnya adalah acara tahlilan/yasinan yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan tidak pernah
pula dilakukan oleh para sahabatnya. Dan kebanyakan bid’ah saat ini terjadi
dikarenakan tersebarnya hadits dho’if/lemah di
tengah-tengah umat. Contoh dari hadits dho’if tersebut adalah tentang keutamaan
surat yasin sehingga orang-orang membolehkan adanya yasinan. Hadits tersebut
adalah,”Bacakanlah surat yasin untuk orang mati di antara kalian”.
(Hadits ini dho’if/lemah diriwayatkan oleh Abu
Daud, Ibnu Majah, dan Nasa’i. Imam Nawawi mengatakan bahwa dalam hadits ini
terdapat 2 perawi majhul/tidak dikenal).
Selain
itu juga, hadits dho’if digunakan oleh sebagian
orang untuk menjelaskan fadh’ail a’mal yaitu
mendorong umat untuk melakukan kebaikan dan menakut-nakuti mereka agar tidak
melakukan kejelekaan. Hadits dho’if (bahkan
palsu) ini semakin tersebar –di zaman yang penuh kebodohan mengenai derajat
hadits saat ini- baik melalui tulisan atau pun melalui lisan para da’i. Namun
menjadi suatu pertanyaan penting, apakah hadits dho’if (atau bahkan palsu)
boleh dijadikan sandaran hukum?! Simaklah pembahasan berikut ini.
Larangan
Berdusta Atas Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Kaum
muslimin yang semoga selalu ditunjuki oleh Allah menuju kebenaran. Perlu
diketahui, bahwa berdusta atas nama Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam termasuk dosa besar karena beliau shallallahu ’alaihi wa sallam mengancam orang yang
demikian dengan neraka. Sebagaimana sabda beliau shallallahu ’alaihi wa sallam,
مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
”Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka
hendaknya dia mengambil tempat duduknya di neraka”. (HR. Bukhari
& Muslim). Dari hadits ini terlihat jelas bahwasanya seseorang yang
menyandarkan sesuatu kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam tanpa
mengetahui keshohihannya, dia terancam masuk neraka.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam juga bersabda,
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ
مَا سَمِعَ
”Cukuplah seseorang dikatakan berdusta, jika ia menceritakan setiap
yang dia dengar.” (HR. Muslim). Imam Malik –semoga Allah merahmati
beliau- mengatakan, ”Ketahuilah, sesungguhnya seseorang tidak akan selamat jika
dia menceritakan setiap yang didengarnya, dan dia tidak layak menjadi seorang
imam (yang menjadi panutan, pen), sedangkan dia selalu menceritakan setiap yang
didengarnya. (Dinukil dari Muntahal Amani bi Fawa’id
Mushtholahil Hadits lil Muhaddits Al Albani).
Dari
perkataan Imam Malik ini terlihat bahwasanya walaupun seseorang tidak dikatakan
berdusta secara langsung namun dia dapat dikatakan mendukung kedustaan karena
menukil banyak hadits lalu mendiamkannya, padahal bisa saja hadits yang
disampaikan dho’if atau dusta. (Lihat Muntahal Amani)
Hukum
Memakai Hadits Dho’if
Setelah
penjelasan larangan berdusta atas Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam yaitu
seseorang tidak boleh menyampaikan suatu hadits tanpa tahu terlebih dahulu
keshohihannya, maka perlu kita ketahui pula hukum menggunakan hadits dho’if
dengan melihat perkataan Imam Muslim –semoga Allah merahmati beliau- berikut ini.
Imam
Muslim –rahimahullah- berkata, ”Ketahuilah –semoga Allah
memberikan taufiq padamu- bahwasaya wajib atas setiap orang yang mengerti
pemilahan antara riwayat yang shohih dari riwayat yang lemah dan antara perowi
yang tsiqoh (terpercaya, pen) dari perowi yang tertuduh (berdusta, pen); agar
tidak meriwayatkan dari riwayat-riwayat tersebut melainkan yang dia ketahui keshohihan periwatnya dan terpercayanya
para penukilnya, dan hendaknya dia menjauhi riwayat-riwayat yang
berasal dari orang-orang yang tertuduh dan para ahli bid’ah (yang sengit
permusuhannya terhadap ahlus sunnah). Dalil dari perkataan kami ini adalah
firman Allah yang artinya,”Hai orang-orang yang beriman, jika
datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah
dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu
kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu.” (Q.S. Al Hujurat: 6)
Ayat yang
kami sebutkan ini menunjukkan bahwa berita orang yang fasik gugur dan tidak
diterima dan persaksian orang yang tidak adil adalah tertolak.” (Muqoddimah Shohih Muslim, dinukil dari Majalah Al
Furqon). Maka dapat disimpulkan bahwa hadits dho’if tidak
boleh dijadikan sandaran hukum karena periwayat hadits dho’if termasuk orang yang fasik.
Bolehkah
Hadits Dho’if Digunakan dalam Fadho’il A’mal?!
Ada
sebagian kaum muslimin yang sering membawakan hadits dho’if (bahkan sangat dho’if/lemah) tentang fadha’il a’amal (keutamaan
berbagai amal) dalam dakwah mereka. Mereka beralasan bahwa para ulama telah
sepakat bolehnya menggunakan hadits dho’if dalam fadha’il a’mal. Padahal di pihak lain, banyak ulama
yang menyatakan hadits dho’if tidak boleh diamalkan secara mutlak meskipun di
dalam masalah fadha’il a’mal.
Perlu
kaum muslimin ketahui, bahwa maksud sebagian ulama yang membolehkan menggunakan
hadits dho’if bukanlah yang dimaksudkan mereka
menggunakan hadits dho’if serampangan
begitu saja. Namun, maksud mereka adalah bahwasanya dibolehkan menggunakan
hadits dho’if untuk menjelaskan fadha’il a’mal (keutamaan amalan) dalam amalan
yang telah disyari’atkan dalam syari’at dengan dalil-dalil yang shohih seperti
dzikir, puasa, dan sholat. Hal ini dimaksudkan agar jiwa
manusia selalu mengharapkan pahala dari amalan-amalan tersebut atau menjadi
takut untuk melaksanakan suatu kejelekan. Para ulama tidak
menghendaki penetapan hukum syar’i dengan hadits-hadits yang dho’if/lemah yang tidak memiliki landasan pokok dari
hadits yang shohih. Seperti yasinan/tahlilan tidak memiliki dalil dari hadits
yang shohih sama sekali yang menjadi landasan pokok dalam penetapan hukum.
Para
ulama yang membolehkan beramal dengan hadits dho’if di dalam fadho’il a’mal juga memberikan persyaratan bagi
hadits yang boleh diamalkan dalam hal tersebut. Syarat-syarat tersebut adalah:
(1)
Hendaknya hadits dho’if tersebut bukanlah hadits yang sangat dho’if/lemah,
(2)
Hendaknya hadits dho’if tersebut masuk di bawah hadits shohih (atau minimal
hasan) yang sifatnya umum,
(3) Di
dalam mengamalkannya tidak diyakini keshohihannya,
(4)
Hadits ini tidak boleh dipopulerkan.
Syarat-syarat
di atas di dalam prakteknya sulit sekali diterapkan oleh
kebanyakan kaum muslimin. Kebanyakan dari mereka tidak bisa memilah antara
hadits dho’if dengan hadits yang dho’if jiddan (lemah
sekali) dan antara hadits yang di dalamnya memiliki landasan dari hadits yang
shohih dengan yang tidak. (Lihat Majalah Al Furqon, thn.6, ed.2 dan Ilmu Ushul Bida’)
Mengenai
hadits dho’if, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, “Sedangkan
hadits dho’if diperselisihkan oleh para ulama -rahimahumullah-. Ada yang
membolehkan untuk disebarluaskan dan dinukil, namun mereka memberikan tiga
syarat dalam masalah ini,
[Syarat
pertama] Hadits
tersebut tidaklah terlalu dho’if (tidak terlalu lemah).
[Syarat
kedua] Hadits
tersebut didukung oleh dalil lain yang shahih yang
menjelaskan adanya pahala dan hukuman.
[Syarat
ketiga] Tidak
boleh diyakini bahwa hadits tersebut dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits tersebut haruslah
disampaikan dengan lafazh tidak jazim (yaitu tidak tegas). Hadits tersebut
hanya digunakan dalam masalah at targhib untuk memotivasi dan at tarhib untuk
menakut-nakuti.”
Yang
dimaksudkan tidak boleh menggunakan lafazh jazim adalah tidak boleh menggunakan
kata “qola Rasulullah” (رَسُوْل اللهِ قَالَ), yaitu
Rasulullah bersabda. Namun kalau hadits dho’if tersebut ingin disebarluaskan
maka harus menggunakan lafazh “ruwiya ‘an rosulillah”
(ada yang meriwayatkan dari Rasulullah) atau lafazh “dzukiro
‘anhu” (ada yang menyebutkan dari Rasulullah), atau ”qiila”, atau semacam itu. Jadi intinya, tidaklah boleh
menggunakan lafazh “Qola Rosulullah” (Rasulullah
bersabda) tatkala menyebutkan hadits dho’if.
Jika di
masyarakat tidak bisa membedakan antara perkataan dzukira (ذُكِرَ), qiila (قِيْلَ), ruwiya (رُوِيَ) dan qoola (قَالَ), maka hadits dho’if tidak boleh
disebarluaskan sama sekali. Karena ditakutkan masyarakat akan
menyangka bahwa itu adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(Faedah Ilmu dari Syarh Al ‘Aqidah Al Wasithiyyah, Syaikh Muhammad bin Sholih
Al ‘Utsaimin, hal. 401-402, cetakan pertama, 1424 H). Lihat pula pembahasan
kami di sini.
Faedah
Lainnya
Dari sini
menunjukkan bahwa hadits dho’if tidak boleh digunakan untuk menentukan suatu
amalan kecuali jika ada hadits shahih lain yang mendukungnya. Karena di sini
hanya disebutkan boleh hadits dho’if untuk memotivasi beramal atau
menakut-nakuti, bukan untuk menentukan dianjurkannya suatu amalan kecuali jika
ada hadits shahih yang mendukung hal ini.
Perhatikanlah! Misalnya ada hadits dho’if mengenai amalan pada malam nishfu
sya’ban. Kalau landasannya dari hadits dho’if tanpa pendukung dari hadits
shahih, maka tidak boleh digunakan sama sekali sebagai landasan untuk beramal.
Demikian
pembahasan ringkas kami. Semoga bermanfaat.
Hanya
Allah yang beri taufik.
Penulis:
Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel https://rumaysho.com