Shalat
tanpa Peci
Bolehkah shalat tanpa
peci? Sebagian orang menghindar ketika imam tidak memakai peci. Alasannya gak
sempurna. Apa benar?
Jawab:
Bismillah was shalatu
was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Ada 3 sikap berbeda yang diberikan masyarakat
terkait peci. Dua berlebihan, dan satu pertengahan.
Pertama, mewajibkan memakai
peci dalam shalat. Bahkan dalam semua aktivitas harus memakai peci. Sehingga
dia menganggap bahwa hanya dengan semata memakai peci, dia akan mendapatkan
pahala.
Mungkin anda pernah mendengar ada orang yang
tidak mau shalat jadi makmum, jika imamnya tidak memakai peci. Karena dia
menganggap, shalatnya imam tidak sempurna.
Saya sendiri pernah mendengar, ada orang yang
bercerita pengalaman mencari kerja. Salah satu yang dia sampaikan, di
perusahaan A masih lumayan, dibebaskan memakai peci. Kalo di perusahaan lain,
kurang bagus, tidak boleh memakai peci.
Peci dianggap sesuatu yang sangat istimewa
baginya. Sampai harus dibela, meskipun dalam urusan murni duniawi.
Yang mengkhawatirkan, sebagian kelompok ini
sampai menyampaikan hadis palsu untuk memotivasi masyarakat memakai peci.
Diantaranya,
Hadis,
صَلَاةُ
تَطَوُّعٍ أَوْ فَرِيضَةٍ بِعِمَامَةٍ تَعْدِلُ خَمْسًا وَعِشْرِينَ صَلَاةً بِلَا
عِمَامَةٍ، وَجُمُعَةٌ بِعِمَامَةٍ تَعْدِلُ سَبْعِينَ جُمُعَةً بِلَا عِمَامَةٍ
Shalat sunah atau shalat wajib yang memakai
imamah (penutup kepala) senilai 25 kali shalat tanpa imamah. Jumatan dengan
imamah senilai 70 kali jumatan tanpa imamah. (HR. ad-Dailami dalam Musnad
Firdaus (2/108), dan dinilai oleh al-Hafidz Ibnu Hajar sebagai hadis palsu).
Kemudian hadis,
الصَّلَاةُ
فِي العِمَامَةِ تَعْدِلُ عَشَرَةَ آلَافِ حَسَنَةٍ
Shalat dengan memakai imamah senilai 10.000
pahala. (HR. Abban bin Abi Ayyasy, dan dinilai palsu oleh as-Sakhawi al-Maqasid
al-Hasanah (423) dan as-Syaukani dalam al-Fawaid al-Majmu’ah (188).)
Dan beberapa hadis lainnya yang semakna.
Kedua, anti peci. Bagian
dari modernisasi adalah tidak mengenakan tutup kepala dalam setiap kegiatan.
Sampai ketika dia di acara-acara resmi, dia
sama sekali tidak berkenan memakai tutup kepala.
Ketiga, mereka yang menilai
bahwa peci adalah perkara adat, masuk dalam tradisi, namun dia menjadi
perhiasan mukmin. Untuk itu, mereka tidak mengkaitkan keabsahan shalat dengan
keberadaan peci. Hanya saja, mengingat peci adalah perhiasan mukmin, maka
memakai peci termasuk dalam anjuran yang disebutkan dalam ayat,
يَا
بَنِي آَدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Hai anak Adam,
pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid.” (QS. al-A’raf: 31)
Karena itu, memakai peci dalam shalat maupun
ketika acara resmi kaum muslimin, lebih afdhal dibandingkan tanpa mengenakan
peci. Meskipun ini tidak ada kaitannya dengan keabsahan shalat.
Dr. Muhammad Ali Farkus ketika membahas
masalah peci mengatakan,
ولا
يخفى أنَّ الأفضلية لا تُنافي جوازَ صلاةِ الإمام أو المنفرد أو المأموم حاسِرَ
الرأسِ بدون تغطيةٍ له؛ لأنَّ عمومَ الجواز لا يَلْزَمُ منه التسويةُ أوَّلًا،
ولأنَّ العِمامة أو ما شاكَلَها داخلةٌ في سُنن العادة لا في سُنن العبادة ثانيًا،
ولأنَّ الرأس ليس بعورةٍ حتَّى يجب سَتْرُه ثالثًا؛
Sisi kelebihan peci tidaklah menunjukkan
larangan shalat dengan terbuka kepalanya tanpa penutup, baik sebagai imam, atau
sendirian, atau sebagai makmum. Karena,
[1] Hukum boleh, tidak menunjukkan bahwa
itu harus sama nilai
[2] Imamah atau peci atau tutup kepala
lainnya, masuk dalam aturan adat, dan bukan aturan ibadah
[3] (Bagi lelaki) Kepala bukan termasuk aurat
yang harus ditutupi.
Sumber:
http://ferkous.com/home/?q=fatwa-1182
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz
Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)