Berhutang Untuk Dapat Berkurban
Berkurban hukumnya
adalah sunah mu-akkadah bagi yang mampu, menurut pendapat yang kuat di antara
pendapat ulama, yakni pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama. Lalu apakah
boleh seorang berhutang untuk bisa menunaikan ibadah yang hukumnya sunah ini?
Untuk menjawabnya, di
sini kami paparkan dua keadaan orang yang berhutang untuk tujuan berkurban :
Pertama, si
penghutang ada harapan kuat bisa membayar hutangnya.
Untuk jenis ini,
berhutang hukumnya boleh. Karena dia dinilai sebagai orang yang mampu secara hukum.
Meski real-nya dia belum memegang uang.
Kasus ini seperti
kasus zakat piutang. Apabila uang yang dihutangkan itu menurut prasangka kuat
si peminjam (kreditur), bahwa orang yang berhutang (debitur) mampu melunasi,
maka kreditur diwajibkan mengeluarkan zakat uang yang dihutangkan tersebut,
apabila telah sampai nishob dan genap setahun (haul). Sekalipun piutang itu
belum dipegangnya. Karena piutang itu sudah bisa dihukumi sebagai harta yang
terpegang.
Contohnya orang yang
memiliki harapan kuat bisa membayar hutangnya adalah, seorang pegawai yang
gajinya turun di akhir bulan. Sementara dia hendak berqurban di awal bulan.
Maka dia boleh berhutang terlebih dahulu untuk dibelikan hewan qurban, lalu
hutang dibayarkan di akhir bulan saat gajinya turun.
Kedua, tidak memiliki
harapan kuat untuk bisa melunasi hutangnya.
Maka hukumnya
sebaiknya tidak berhutang. Karena dia dihukumi sebagai orang yang tidak mampu.
Sementara Allah tidak membebani kita di luar kemampuan kita. Allah berfirman,
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ
نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS. Al-Baqarah
: 286).
Kemudian dalam ayat
yang lain diterangkan,
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ
نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
Allah tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan
kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (QS. At-Thalaq
: 7).
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
rahimahullah menjelaskan,
الفقير الذي ليس بيده
شيء عند حلول عيد الأضحى لكنه يأمل أن يحصل، كإنسان له راتب شهري، أو أنه في يوم
العيد ليس في يده شيء لكنه يستطيع أن يستقرض من صاحبه. ويوفي إذا جاء الراتب فهذا
يمكن أن نقول له: لك أن تستقرض إذن وتضحي ثم توفي، ْ أما إذا كان لا يأمل الوفاء
عن قريب فإننا لا نستحب له أن يستقرض ليضحي؛ لأن هذا يستلزم إشغال ذمته بالدين
ومنّ الناس عليه، ولا يدري هل يستطيع الوفاء أو لا يستطيع.
Orang faqir; yang
tidak mempunyai dana di tangannya ketika tiba hari raya Idul Adha, tetapi dia
punya harapan memperoleh penghasilan setelah Idul Adha, seperti orang yang
mempunyai gaji bulanan, atau dia di hari idul adha tidak memiliki dana namun
dia mampu meminjam saudaranya, maka baginya tidak mengapa berhutang untuk
berkurban, nanti kemudian dilunasi. Adapun jika dia tidak mempunyai harapan
untuk mampu melunasi dalam waktu dekat, maka kami tidak menganjurkannya
berhutang untuk berkurban. Karena ini akan menyibukan dirinya dengan hutang.
(Majmu’
Al-Fatawa (25/110). Cetakan dar Ast-Tsurayya).
Wallahua’lam bis
showab.
Oleh: Ustadz Ahmad
Anshori (Pengajar PP. Hamalatulquran, Bantul)