Hukum Harta Gono Gini Dalam Islam
Harta gono-gini adalah harta milik
bersama dari suami dan istri yang mereka peroleh selama perkawinan. Demikianlah
pengertian harta gono-gini yang sesuai dengan pasal 35 UU Perkawinan di
Indonesia, harta gono-gini adalah harta yang diperoleh selama perkawinan
menjadi harta bersama.” Hal ini karena harta dalam sebuah keluarga mempunyai
tiga kemungkinan:
Pertama, harta miliki suami saja. Yaitu harta yang dimiliki oleh suami
tanpa ada sedikit pun kepemilikan istri pada harta itu. Misalnya harta suami
sebelum menikah, atau harta yang diperoleh dari hasil kerja suami dan tidak
diberikan sebagai nafkah kepada istrinya, atau harta yang dihibahkan orang lain
kepada suami secara khusus, atau harta yang diwariskan kepada suami, dan
sebagainya.
Kedua, harta milik istri saja. Yaitu
harta yang dimiliki oleh istri saja tanpa ada sedikit pun kepemilikan suami
pada harta itu. Misalnya harta milik istri sebelum menikah, atau harta hasil
kerja yang diperoleh dari istri tanpa harus mengganggu kewajibannya sebagai
istri, atau harta yang dihibahkan orang lain khusus untuknya, atau harta yang
diwariskan kepada istri, dan lain-lain.
Ketiga, harta milik bersama. Misalnya
harta yang dihibahkan seseorang kepada suami istri, atau harta benda semisal
rumah, tanah, atau lainnya yang dibeli dari uang mereka berdua, atau harta yang
mereka peroleh setelah menikah dan suami serta istri sama-sama kerja yang
menghasilkan pendapatan dan sebagainya. Yang ketiga inilah yang kemudian
diistilahkan dengan harta gono-gini.
Namun harta yang diperoleh sebuah
keluarga tidak mesti secara langsung otomatis menjadi harta gono-gini.
Perinciannya sebagai berikut:
Secara umum suamilah yang bekerja
dan bertanggung jawab atas nafkah dan ekonomi keluarga. Ini banyak disebutkan
oleh Allah dan Rasul-Nya. (di antaranya dalam QS. Ath Thalaq: 7)
Dari Aisyah, sesungguhnya Hindun
binti Utbah berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang
sangat pelit. Dia tidak memberi harta yang cukup untukku dan anakku, kecuali
apa yang saya ambil sendiri tanpa sepengetahuannya.” Maka Rasulullah bersabda, “Ambillah
yang cukup bagimu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Bukhari no.5364
dan Muslim no.1714).
Dari Hakim bin Mu’awiyah dari
bapaknya berkata: Saya bertanya, “Ya Rasulullah apakah hak istri kami?” Beliau
bersabda, “Engkau memberinya makan jika kamu makan, engkau memberinya pakaian
jika kamu berpakaian.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya. Al-Irwa’:
2033)
Adapun istri, maka aktivitasnya
ada dua kemungkinan:
Pertama, sama sekali tidak mempunyai
aktivitas yang bernilai ekonomis. Jika demikian, maka harta dalam keluarga
tersebut adalah harta suami, dan tidak ada harta gono-gini. Karena memang tidak
ada andil istri dalam harta tersebut.
Kedua, jika istir memiliki aktivitas
yang bernilai ekonomis. Seperti dia bekerja sendiri, atau membantu suami dalam
pekerjaanya, atau menjadi partner kerja bagi suami, atau yang semisalnya, maka
dalam kondisiinilah harta dalam sebuah keluarga tersebut ada yang disebut harta
gono-gini.
Namun satu masalah harus
dipahami, bahwa harta suami tidak utuh, tapi berkurang dengan beberapa
kewajibannya sebagai suami. Seperti memberi mahar istrinya, menunaikan
kewajiban nafkah pada istri dan anaknya, yang meliputi sandang, pangan, papan,
kesehatan, pendidikan anak-anak dan lainnya. Sedangkan harta istri tetap utuh,
karena tidak ada kewajiban baginya untuk memberikan nafkah kepada suami dan
anak-anaknya. Kecuali apabila dengan keridhaan dirinya, dia memberikan untuk
suami dan anak-anaknya. Dan itu menjadi sedekah baginya.
Hukum Syar’i Tentang Harta
Gono-Gini
Jika telah diapahami permasalahan
di atas, maka bagaimanakah status harta gono-gini ini, jika terjadi pisah
antara suami istri, baik pisah karena wafat atau karena cerai?
Syariat tidak membagi harta
gono-gini ini dengan bagian masing-masing secara pasti, misalnya istri 50% dan
suami 50%. Sebab, tidak ada nash yang mewajibkan demikian –setahu kami- baik
dari Alquran maupun sunah. Namun pembagiannya bisa ditinjau dari beberapa
kemungkinan:
Pertama, jika diketahui secara pasti
perhitungan harta suami dan istri
Yaitu hasil kerja suami
diketahuisecara pasti dikurangi nafkah untuk keluarganya, demikian juga hasil
kerja istri diketahuidengan pasti. Maka perhitungan harta gono-gininyasangat
jelas, yaitu sesuai denga perhitungan tersebut.
Kedua, jika tidak diketahui perhitungan
harta suami istri
Gambarannya: suami istri
sama-sama kerja atau saling bekerja sama dalam membangun ekonomi keluarga. Dan
kebutuhan keluarga pun ditanggung berdua dari hasil kerja mereka. sehingga
sisanya berapa bagian dari harta suami dan berapa bagian dari harta istri tidak
jelas. Dan inilah gambaran kebanyakan keluarga di negeri Indonesia.
Dalam kondisi demikian, harta
gono-gini tersebut tidak mungkin dibagi kecuali dengan jalan sulh, ‘urf atau qadha (putusan).
Sulh sendiri adalah kesepakatan antara
suami istri berdasarkan musyawarah atas dasar saling ridha. Dalil pensyariatan
perdamaian suami istri antara lain:
Dari Katsir bin Abdillah bin Amr
bin Auf al-Muzani, dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Berdamai itu boleh dilakukan antara
kaum muslimin, kecuali sebuah perdamaian yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram. Dan kaum muslimin itu tergantung pada syarat mereka,
kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
(HR. Tirmidzi no.1370, Ahmad 2:366, dan Abu Dawud no. 3594)
Saat menerangkan hadis di atas,
ash-Shan’ani berkata, “Para ulama telah membagi ash-shulh (perdamaian)
menjadi beberapa macam: perdamaian antara muslim dan kafir, perdamaian antara suami
dan istri, perdamaian antara kelompok yang bughat (zalim) dan
kelompok yang adil, perdamaian antara dua orang yang mengadukan permasalahan
kepada hakim, perdamaian dalam masalah tindak pelukaan seperti pemberian maaf
untuk sanksi harta yang mestinya diberikan, dan perdamaian untuk memberikan
sejumlah harta milik bersama dan hak-hak. Pembagian inilah yang dimaksud di
sini, yakni pembagian yang disebut oleh para ahli fiqih dengan ash-shulh (perdamaian).
Dengan demikian berdasarkan dalil
hadis Amr bin Auf al-Muzani di atas, jika suami istri berpisah dan hendak
membagi harta gono-gini di antara mereka, dapat ditempuh jalan perdamaian (ash-shulh).
Sebab, salah satu jenis perdamaianadlaah perdamaian antara suami istri, atau
perdamaian tatkala ada persengketaan mengenai harta bersama.
Dengan jalan perdamaian ini,
pembagian harta gono-gini bergantung pada musyawarah antara suami istri. Bisa
jadi suami mendapat 50% dan istri 50% atau suami mendapat 30% dan istri 70%,
pun suami bisa mendapat 70% dan istri 30%, dan boleh pula pembagian dengan
nisbah (prosentase) yang lain. Semuanya dibenarkan syara’, selam merupakan
hasil dari perdamaian yang telah ditempuh berdasarkan kerelaan masing-masing.
Memang, dalam KHI (Kompilasi
Hukum Islam) yang diterapkan dalam Peradilan Agama, harta gono-gini antar suami
istri tidaklah dibagi kecuali masing-masing mendapat 50%. Dalam pasal 97 KHI
disebutkan: “Janda atau duda cerai hidup, masing-masing berhak seperdua dari
harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.”
Namun ketentuan dalam KHI ini
bukanlah suatu putusan hukum yang paten, jika suami istri sepakat membagi harta
dengan prosentase tertentu, maka kesepakatan dan keridhaan mereka didahulukan.
‘Urf, merupakan
adat kebiasaan yang berlaku di sebuah masyarakat, sehingga itu menjadi hukum di
masyarakat tersebut. Para ulama sepakat ‘urf bisa
dijadikan salah satu acuan hukum. Dalam salah satu kaidah fikih disebutkan,
العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
“Sebuah
adat kebiasaan itu bisa dijadikan sandaran hukum.”
Dengan syarat:
1.
‘Urf itu
berlaku umum.
2.
Tidak
bertentangan dengan nash syar’i.
3.
‘Urf itu
sudah berlaku sejak lama, bukan sebuah kebiasaan yang baru saja terjadi.
4.
Tidak
berbenturan dengan tashrih.
Jadi, jika dalam masalah harta
gono-gini tidak ada kesepakatan antara suami istri, maka dilihat apakah dalam
masyarakat tersebut ada ‘urf yang berlaku tentang permasalahan
harta gono-gini atau tidak. Jika ada, itulah yang diberlakukan. Wallahu a‘lam.
Qadha, jika tidak ada sulh dan
‘urf, barulah masuk dalam sistem terakhir, yaitu qadha. Qadha sendiri
adalah keputusan yang ditetapkan oleh hakim setempat tentang masalah yang
disampaikan kepadanya. Dalam kondisi ini seorang hakim harus melihat kepada
kondisi suami istri tersebut, untuk bisa menentukan pembagianharta gono-gini
secara baik. Dan dalam kondisi ini boleh bagi hakim untuk menggunakan hukum
perdata yang berlaku di peradilan, selagi tidak bertentangan dengan hukum
syariat Islam. Wallahu a’lam.
Oleh Ustadz Ahmad Sabiq, Lc.