Mazhab
di Mekkah dan Madinah
Assalammualaikum,
Saya
mendengar dari seorang ustadz bahwa jaman dahulu di masjid nabawi dan
mekkah, orang yang naik haji bisa belajar banyak mahzab, tapi sekarang
orang-orang luar mekah jika naek haji hanya bisa belajar satu mahzab
karena menganggap satu mahzab ini adalah yang paling benar. Benarkah
seperti keadaannya?
Mahzab
apakah yang dipakai oleh ulama di mekkah dan madina?
Jazakallahu khoir
Dari sdr. Agung H.
Jawaban:
Wa alaikumus salam
Bismillah was shalatu
was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Ada beberapa informasi yang pelu kita
luruskan dari apa yang disampaikan Sang Ustadz. Ada sebagian yang tidak sesuai
realita, dan ada yang bisa menimbulkan kesalah-pahaman.
Pertama, fikih yang diajarkan
di universitas islam di Mekah dan Madinah adalah fikih perbandingan madzhab.
Sejak semester pertama di fakultas Syariah
jurusan fikih, mata kuliah fikih sudah diajarkan fikih perbandingan madzhab.
Dengan kitab rujukan Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd. Kitab ini layaknya
ensiklopedi ikhtilaf ulama dalam masalah fikih. Hampir dalam setiap masalah,
Ibnu Rusyd menyebutkan berbagai pendapat ulama dari berbagai madzhab.
Sebagai bagian dari keterbukaan informasi
tentang metode belajar di Universitas Islam Madinah, pihak Universitas
menyebarkan informasi ini kepada masyarakat. Anda yang tertarik untuk menilik
kurikulum dan metode belajar Universitas Islam Madinah, bisa mengunduh di http://www.islamhouse.com/64948/ar/ar/programsv/برنامج_المناهج_الدراسية_بالجامعة_الإسلامية_بالمدينة_النبوية
Oleh karena itu, klaim bahwa pemerintah Saudi
hanya mengajarkan satu madzhab dalam pendidikan mereka, jelas klaim yang tidak
sesuai realita.
Kedua, madzhab resmi Mekah
dan Madinah
Hampir semua negara islam, punya madzhab
resmi. Tidak hanya Saudi, termasuk Indonesia, Malaysia, dan negara islam
lainnya. Bagi departemen agama, madzhab resmi fikih mereka adalah syafiiyah.
Karena itu, dalam banyak keputusan, Depag lebih banyak merujuk keterangan
madzhab Syafii. Demikian halnya yang terjadi di Malaysia. Sementara madzhab
resmi Mesir, yang digunakan sebagai rujukan dalam hukum dan peradilan adalah
madzhab hanafi. Demikian pula, dulu madzhab resmi yang dianut oleh Turki
Utsmani adalah madzhab hanafiyah.
Saudi menjadikan madzhab hambali sebagai
madzhab resminya. Madzhab hambali menjadi aturan resmi untuk setiap peradilan.
Dan kita sepakat, memilih satu madzhab
sebagai acuan, bukanlah sikap yang tercela. Karena hampir semua negara islam
memilikinya, dan tentu saja atas lisensi dari para ulama.
Ulama Belajar Semua Madzhab
Meskipun madzhab resminya adalah hambali,
namun para ulama besar yang tergabung dalam Haiah Kibar Ulama Saudi (semacam
MUI di Indonesia), mereka mengkaji semua madzhab. Sebagaimana hal ini
dituturkan oleh salah satu anggota Haiah Kibar Ulama, Dr. Muhammad Alu Isa,
غالبية
أعضاء الهيئة أكاديميون يدرسون المذاهب الأربعة، ولا يعتمدون إلا القول الراجح
بدليله أيا كانت مدرسته
”Umumnya anggota Haiah adalah lulusan
akademi, yang mereka mempelajari semua madzhab yang empat. Dan mereka tidak
memutuskan, kecuali pendapat yang kuat berdasarkan dalilnya, dari manapun
mereka belajar.
Sumber: http://www.aawsat.com/details.asp?section=17&article=511267&issueno=11067#.UxbVl-OSzgs
Ketiga, pengajar di Masjid
Nabawi
Meskipun madzhab resmi negara adalah madzhab
hambali, namun saudi tidak memaksa kaum muslimin untuk mengajarkan madzhab lain
di sana. Kita jumpai ada beberapa ulama yang berasal dari madzhab Maliki,
seperti Syaikh Abu Bakr Jabir al-Jazairi, penulis kitab Minhajul Muslim, yang
beliau bermadzhab Maliki. Dan sebelumnya sudah ada Syaikh Muhammad Amin
as-Syinqithy, pengajar masjid nabawi, sekaligus penulis Tafsir Adwaul Bayan,
beliau juga bermadzhab Maliki.
Bahkan di Saudi bagian timur, terdapat ulama
besar madzhab Syafii, hingga beliau digelari dengan Syaikhul Madzhabi as-Syafii
[شيخ المذهب الشافعي], guru besar madzhab
Syafii. Beliau adalah Syaikh Ahmad bin Abdillah ad-Daughan. Beliau meninggal
akhir tahun 2003, semoga Allah merahmatinya.
Keempat, pernyataan: ‘sekarang
orang-orang luar mekah jika naek haji hanya bisa belajar satu mahzab’
Keterangan ini penuh tanda tanya. Karena
umumnya jamaah haji Indonesia tidak mengikuti kajian atau halaqah para
masyayikh di masjidil haram maupun Masjid nabawi. Karena :
·
Nara
sumbernya berbahasa arab, dan umumnya orang Indonesia tidak paham.
·
Mereka
yang paham bahasa arab, umumnya adalah pembimbing, dan biasanya sudah sibuk
ngurusi jamaah
·
Banyak jamaah Indonesia yang lebih sibuk
belanja, kuliner, dan mengambil gambar suasana masjid dan sekitarnya.
Allahu a’lam.
Dijawab oleh ustadz
Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)